Beranda | Artikel
Jihad, Amalan Yang Paling Utama
Senin, 10 Maret 2014

JIHAD, AMALAN YANG PALING UTAMA

Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas حَفِظَهُ الله

DEFINISI JIHAD
Secara bahasa (etimologi), lafazh jihad diambil dari kata:

جَهَدَ : اَلْـجَهْدُ، اَلْـجُهْدُ = اَلطَّاقَةُ، اَلْمَشَقَّةُ، اَلْوُسْعُ.

Yang berarti kekuatan, usaha, susah payah, dan kemampuan.[1]

Menurut ar-Raghib al-Ashfahani rahimahullah (wafat th. 425 H), bahwa اَلْـجَهْدُ berarti kesulitan dan اَلْـجُهْدُ berarti kemampuan.[2]. Kata jihad ( اَلْـجِهَادُ ) diambil dari kata: جَاهَدَ – يُـجَاهِدُ – جِهَادًا .

Menurut istilah (terminologi), arti jihad adalah:

اَلْـجِهَادُ : مُـحَارَبَةُ الْكُفَّارِ وَهُوَ الْمُغَالَبَةُ وَاسْتِفْرَاغُ مَا فِـيْ الْوُسْعِ وَالطَّاقَةِ مِنْ قَوْلٍ أَوْ فِعْلٍ.

Jihad adalah memerangi orang kafir, yaitu berusaha dengan sungguh-sungguh mencurahkan kekuatan dan kemampuan, baik berupa perkataan atau perbuatan.” [3]

Dikatakan juga:

اَلْـجِهَادُ وَالْمُجَاهَدَةُ: اِسْتِفْرَاغُ الْوُسْعِ فِـيْ مُدَافَعَةِ الْعَدُوِّ.

Jihad artinya mencurahkan segala kemampuan untuk memerangi musuh.”

JIHAD ADA TIGA MACAM
1. Jihad melawan musuh yang nyata.
2. Jihad melawan setan.
3. Jihad melawan hawa nafsu.

Tiga macam jihad ini termaktub di dalam Al-Qur-an, di antaranya:
Firman Allah Azza wa Jalla,

وَجَاهِدُوا فِي اللَّهِ حَقَّ جِهَادِهِ ۚ هُوَ اجْتَبَاكُمْ وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ ۚ مِلَّةَ أَبِيكُمْ إِبْرَاهِيمَ ۚ هُوَ سَمَّاكُمُ الْمُسْلِمِينَ مِنْ قَبْلُ وَفِي هَٰذَا لِيَكُونَ الرَّسُولُ شَهِيدًا عَلَيْكُمْ وَتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ ۚ فَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ وَاعْتَصِمُوا بِاللَّهِ هُوَ مَوْلَاكُمْ ۖ فَنِعْمَ الْمَوْلَىٰ وَنِعْمَ النَّصِيرُ

Dan berjihadlah kamu di jalan Allah dengan jihad yang sebenar-benarnya. Dia telah memilih kamu, dan Dia tidak menjadikan kesukaran untukmu dalam agama. (Ikutilah) agama nenek moyangmu Ibrahim. Dia (Allah) telah menamakan kamu orang-orang muslim sejak dahulu, dan (begitu pula) dalam (Al-Qur-an) ini, agar Rasul (Muhammad) itu menjadi saksi atas dirimu dan agar kamu semua menjadi saksi atas segenap manusia. Maka laksanakanlah shalat dan tunaikanlah zakat, dan berpegang teguhlah kepada Allah. Dia-lah Pelindungmu; Dia sebaik-baik pelindung dan sebaik-baik penolong.” [Al-Hajj/22 : 78]

انْفِرُوا خِفَافًا وَثِقَالًا وَجَاهِدُوا بِأَمْوَالِكُمْ وَأَنْفُسِكُمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ ۚ ذَٰلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ

Berangkatlah kamu baik dengan rasa ringan maupun dengan rasa berat, dan berjihadlah dengan harta dan jiwamu di jalan Allah. Yang demikian itu adalah lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” [At-Taubah/9: 41]

Juga firman-Nya.

إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَهَاجَرُوا وَجَاهَدُوا بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَالَّذِينَ آوَوْا وَنَصَرُوا أُولَٰئِكَ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ ۚ وَالَّذِينَ آمَنُوا وَلَمْ يُهَاجِرُوا مَا لَكُمْ مِنْ وَلَايَتِهِمْ مِنْ شَيْءٍ حَتَّىٰ يُهَاجِرُوا ۚ وَإِنِ اسْتَنْصَرُوكُمْ فِي الدِّينِ فَعَلَيْكُمُ النَّصْرُ إِلَّا عَلَىٰ قَوْمٍ بَيْنَكُمْ وَبَيْنَهُمْ مِيثَاقٌ ۗ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ

Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad dengan harta dan jiwanya pada jalan Allah dan orang-orang yang memberikan tempat kediaman dan memberi pertolongan (kepada Muhajirin), mereka itu satu sama lain saling melindungi. Dan (terhadap) orang-orang yang beriman tetapi belum berhijrah, maka tidak ada kewajiban sedikit pun bagimu melindungi mereka, sampai mereka berhijrah. (Tetapi) jika mereka meminta pertolongan kepadamu dalam (urusan pembelaan) agama, maka kamu wajib memberikan pertolongan kecuali terhadap kaum yang telah terikat perjanjian antara kamu dengan mereka. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.” [Al-Anfaal/8: 72][4]

Menurut al-Hafizh Ahmad bin ‘Ali bin Hajar al-‘Asqalani rahimahullah (wafat th. 852 H), “Jihad menurut syar’i adalah mencurahkan seluruh kemampuan untuk memerangi orang-orang kafir.”[5]

Istilah jihad digunakan juga untuk melawan hawa nafsu, melawan setan, dan melawan orang-orang fasik. Adapun melawan hawa nafsu yaitu dengan belajar agama Islam (belajar dengan benar), lalu mengamalkannya, kemudian mengajarkannya. Adapun jihad melawan setan dengan menolak segala syubhat dan syahwat yang selalu dihiasi oleh setan. Jihad melawan orang kafir dengan tangan, harta, lisan, dan hati. Adapun jihad melawan orang-orang fasiq dengan tangan, lisan, dan hati.[6]

Perkataan al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah tersebut sesuai dengan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam,

جَاهِدُوْا الْمُشْرِكِيْنَ بِأَمْوَالِكُمْ وَأَنْفُسِكُمْ وَأَلْسِنَتِكُمْ.

Berjihadlah melawan orang-orang musyrikin dengan harta, jiwa, dan lisan kalian.”[7]

Menurut Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah adalah, “Mencurahkan segenap kemampuan untuk mencapai apa yang dicintai Allah Azza wa Jalla dan menolak semua yang dibenci Allah.”[8]

Definisi ini mencakup seluruh macam jihad yang dilaksanakan seorang Muslim, yaitu meliputi ketaatannya kepada Allah Azza wa Jalla dengan melaksanakan perintah-perintah Allah dan menjauhkan larangan-larangan-Nya. Kesungguhan mengajak (mendakwahkan) orang lain untuk melaksanakan ketaatan, yang dekat maupun jauh, Muslim atau orang kafir dan bersungguh-sungguh memerangi orang-orang kafir dalam rangka menegakkan kalimat Allah [9].

Imam Ibnul Qayyim rahimahullah (wafat th. 751 H) berkata, “Aku mendengar Syaikh kami (yaitu Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah) berkata, ‘Jihad melawan hawa nafsu adalah prinsip (dasar yang dibangun di atasnya) jihad melawan orang-orang kafir dan orang-orang munafik. Karena sesungguhnya seseorang tidak akan mampu berjihad (melawan) orang kafir dan munafik, sehingga dia berjihad melawan dirinya dan hawa nafsunya lebih dahulu sebelum melawan mereka (orang kafir dan munafik).’”[10]

KEUTAMAAN JIHAD FI SABILILLAH
Allah Azza wa Jalla berfirman,

أَمْ حَسِبْتُمْ أَنْ تَدْخُلُوا الْجَنَّةَ وَلَمَّا يَعْلَمِ اللَّهُ الَّذِينَ جَاهَدُوا مِنْكُمْ وَيَعْلَمَ الصَّابِرِينَ

Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk Surga, padahal belum nyata bagi Allah orang-orang yang berjihad di antara kamu, dan belum nyata orang-orang yang sabar.” [Ali ‘Imran/3: 142]

Ada beberapa hadits yang menunjukkan tentang keutamaan jihad fii sabiilillaah, di antaranya sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam,

Dari Shahabat Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, ia berkata,

قِيْلَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : مَا يَعْدِلُ الْجِهَادَ فِيْ سَبِيْلِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ ؟ قَالَ : « لَا تَسْتَطِيْعُوْنَهُ ». قَالَ : فَأَعَادُوْا عَلَيْهِ مَرَّتَيْنِ أَوْ ثَلَاثًا . كُلُّ ذَلِكَ يَقُوْلُ : « لَا تَسْتَطِيْعُوْنَهُ ». وَقَالَ فِيْ الثَّالِثَةِ : « مَثَلُ الْمُجَاهِدِ فِي سَبِيْلِ اللهِ كَمَثَلِ الصَّائِمِ الْقَائِمِ الْقَانِتِ بِآيَاتِ اللهِ . لَا يَفْتُرُ مِنْ صِيَامٍ وَلَا صَلَاةٍ حَتَّى يَرْجِعَ الْمُجَاهِدُ فِيْ سَبِيْلِ اللهِ تَعَالَى » .

Dikatakan kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam: Amalan apa yang setara dengan jihad fii sabiilillah? Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: “Kalian tidak bisa (mengerjakan amalan yang setara dengan jihad).” Para shahabat mengulangi pertanyaan tersebut dua kali atau tiga kali, dan Nabi tetap menjawab: “Kalian tidak bisa (mengerjakan amalan yang setara dengan jihad).” Kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda pada kali yang ketiga: “Perumpamaan orang yang berjihad di jalan Allah itu seperti orang yang berpuasa, shalat, dan khusyu’ dengan (membaca) ayat-ayat Allah. Dia tidak berhenti dari puasa dan shalatnya sampai orang yang berjihad di jalan Allah Ta’ala itu kembali.”[11]

… رَأْسُ الْأَمْرِ الْإِسْلَامُ وَعَمُوْدُهُ الصَّلَاةُ وَذِرْوَةُ سَنَامِهِ الْـجِهَادُ فِـي سَبِيْلِ اللهِ.

“… Pokoknya perkara adalah Islam, tiangnya adalah shalat, dan puncaknya adalah jihad fii sabiilillaah.” [12]

رِبَاطُ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ خَيْرٌ مِنْ صِيَامِ شَهْرٍ وَقِيَامِهِ، وَإِنْ مَاتَ جَرَى عَلَيْهِ عَمَلُهُ الَّذِيْ كَانَ يَعْمَلُهُ وَأُجْرِيَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ وَأَمِنَ الْفَتَّانَ.

Orang yang menjaga di tapal batas[13] sehari semalam lebih baik dari puasa dan shalat malam selama sebulan. Dan jika ia mati, maka mengalirlah (pahala) amal yang biasa ia kerjakan, diberikan rizkinya, dan dia dilindungi dari adzab (siksa) kubur dan fitnahnya.”[14]

عَلَيْكُمْ بِالْجِهَادِ فِيْ سَبِيْلِ اللهِ –تَبَارَكَ وَتَعَالَى-، فَإِنَّ الْـجِهَادَ فِـيْ سَبِيْلِ اللهِ بَابٌ مِنْ أَبْوَابِ الْـجَنَّةِ ، يُذْهِبُ اللهُ بِهِ مِنَ الْهَمِّ وَالْغَمِّ.

Wajib atas kalian berjihad di jalan Allah Tabaaraka wa Ta’ala, karena sesungguhnya jihad di jalan Allah itu merupakan salah satu pintu dari pintu-pintu Surga, Allah akan menghilangkan dengannya dari kesedihan dan kesusahan.”[15]

Shahabat ‘Abdullah bin ‘Umar Radhiyallahu anhuma berkata,

إِنَّ أَفْضَلَ الْعَمَلِ بَعْدَ الصَّلَاةِ اَلْجِهَادُ فِيْ سَبِيْلِ اللهِ تَعَالَى.

Sesungguhnya seutama-utama amal sesudah shalat adalah jihad di jalan Allah Ta’ala.”[16]

Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Orang-orang yang berjihad di jalan Allah Azza wa Jalla, mereka adalah tentara Allah. Dengan mereka, Allah Azza wa Jalla menegakkan agama-Nya, melawan serangan musuh-musuh-Nya, menjaga kehormatan Islam dan melindungi-nya. Merekalah adalah orang-orang yang memerangi musuh-musuh Allah agar agama ini seluruhnya menjadi milik Allah semata dan hanya kalimat Allah yang tertinggi. Mereka telah mengorbankan diri mereka dalam rangka mencintai Allah Azza wa Jalla, membela agama-Nya, meninggikan kalimat-Nya serta melawan para musuh-Nya. Mereka mendapat limpahan pahala dari setiap orang yang mereka lindungi dengan pedang-pedang mereka dalam setiap perbuatan yang mereka kerjakan, walaupun mereka tetap tinggal di dalam rumah mereka. Mereka mendapat pahala seperti pahala orang yang beribadah kepada Allah Azza wa Jalla, dengan sebab jihad dan penaklukan mereka, karena mereka yang menyebabkan orang bisa beribadah kepada Allah Azza wa Jalla.

Allah Azza wa Jalla telah memposisikan penyebab ke tingkatan pelaku dalam ganjaran dan dosa. Dan karena inilah masing-masing yang mengajak kepada petunjuk yang benar (akan mendapat pahala yang besar) dan seorang yang mengajak kepada kesesatan mendapat dosa yang semisal dari orang yang mengikuti mereka.

Dan telah jelas ayat-ayat Al-Qur-an dan nash-nash hadits yang mutawatir yang memerintahkan untuk berjihad. Dan pujian bagi orang-orang yang berjihad juga kabar gembira bagi mereka bahwa di sisi Rabb mereka terdapat berbagai macam kemuliaan dan pemberian-pemberian yang berlimpah. Dan cukuplah dari dalil tersebut firman Allah Azza wa Jalla,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا هَلْ أَدُلُّكُمْ عَلَىٰ تِجَارَةٍ تُنْجِيكُمْ مِنْ عَذَابٍ أَلِيمٍ

Wahai orang-orang yang beriman! Maukah kamu Aku tunjukkan suatu perdagangan yang dapat menyelamatkan kamu dari adzab yang pedih?” [Ash-Shaff/61: 10]

Sehingga jiwa-jiwa menjadi rindu untuk mencapai perniagaan yang menguntungkan ini yang ditunjukkan oleh Allah Rabb semesta alam Yang Maha Mengetahui dan Maha Bijaksana yang berfirman,

تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَتُجَاهِدُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ بِأَمْوَالِكُمْ وَأَنْفُسِكُمْ

(Yaitu) kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwamu…” [Ash-Shaff/61: 11]

Seakan-akan jiwa bersifat kikir terhadap kehidupannya dan kelangsungan hidupnya, maka Allah Azza wa Jalla melanjutkan,

ذَٰلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ

“… Itulah yang lebih baik bagi kamu jika kamu mengetahui.” [Ash-Shaff/61: 11]

Artinya bahwa jihad itu lebih baik bagi kalian dari pada kesenangan kalian terhadap kehidupan dan kesehatan. Sepertinya jiwa berkata, “Apa yang kami dapatkan dari jihad?” Allah Azza wa Jalla menjawab,

يَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ

“Niscaya Allah mengampuni dosa-dosamu…” [Ash-Shaff/61: 12]

Selain ampunan dari-Nya, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

وَيُدْخِلْكُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ وَمَسَاكِنَ طَيِّبَةً فِي جَنَّاتِ عَدْنٍ ۚ ذَٰلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ

“… dan memasukkan kamu ke dalam Surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, dan ke tempat-tempat tinggal yang baik di dalam Surga ‘Adn. Itulah kemenangan yang agung.” [Ash-Shaff: 12]

Seolah-olah jiwa bertanya, “Itu balasan di akhirat, sedang di dunia apa balasan bagi kami?” Maka Allah Subhanahu wa Ta’ala menjawab dengan berfirman,

وَأُخْرَىٰ تُحِبُّونَهَا ۖ نَصْرٌ مِنَ اللَّهِ وَفَتْحٌ قَرِيبٌ ۗ وَبَشِّرِ الْمُؤْمِنِينَ

Dan (ada lagi) karunia yang lain yang kamu sukai (yaitu) pertolongan dari Allah dan kemenangan yang dekat (waktunya). Dan sampaikanlah berita gembira kepada orang-orang mukmin.” [Ash-Shaff/61: 13]

Demi Allah, betapa manisnya untaian kata-kata di atas. Betapa lekatnya di hati. Betapa kuat daya tariknya bagi hati. Betapa halusnya masuk ke dalam hati seorang pecinta. Betapa agungnya kekayaan hati dan kehidupannya ketika ia bersentuhan dengan makna ayat-ayat di atas. Kita berdo’a meminta karunia dari Allah Ta’ala karena Dia Maha Dermawan dan Maha Mulia.”[17]

TUJUAN DISYARIATKANNYA JIHAD
Jihad memerangi musuh Islam tujuannya agar agama Allah tegak di muka bumi, bukan sekedar membunuh mereka. Allah Azza wa Jalla berfirman,

وَقَاتِلُوهُمْ حَتَّىٰ لَا تَكُونَ فِتْنَةٌ وَيَكُونَ الدِّينُ لِلَّهِ ۖ فَإِنِ انْتَهَوْا فَلَا عُدْوَانَ إِلَّا عَلَى الظَّالِمِينَ

Dan perangilah mereka itu sampai tidak ada lagi fitnah, dan agama hanya bagi Allah semata. Jika mereka berhenti, maka tidak ada (lagi) permusuhan, kecuali terhadap orang-orang zhalim.” [Al-Baqarah: 193]

Imam Ibnu Jarir ath-Thabari rahimahullah (wafat th. 310 H) berkata, “Perangilah mereka sehingga tidak terjadi lagi kesyirikan kepada Allah, tidak ada penyembahan kepada berhala, kemusyrikan dan ilah-ilah lain. Sehingga, ibadah dan ketaatan hanya ditujukan kepada Allah saja, tidak kepada yang lain.”[18]
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَشْهَدُوْا أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ…

Aku diperintahkan untuk memerangi manusia sampai mereka bersaksi bahwa tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar selain Allah...”[19]

Abu ‘Abdillah al-Qurthubi rahimahullah (wafat th. 671 H) mengatakan, “Ayat dan hadits di atas menunjukkan bahwa sebab qital (perang) adalah kekufuran.”[20]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah (wafat th. 728 H) mengatakan, “Tujuan jihad adalah agar kalimat Allah tinggi, dan agar agama semuanya milik Allah, yaitu maksud tujuannya agar agama Allah tegak (di muka bumi).”[21]

Beliau rahimahullah juga berkata, “Tujuan disyari’atkannya jihad agar (manusia dan jin meyakini bahwa) tidak ada yang disembah dengan benar kecuali hanya Allah, tidak berdo’a kepada selain Allah, tidak shalat kepada selain Allah, tidak sujud kepada selain Allah, tidak puasa kepada selain-Nya, tidak ‘umrah dan haji kecuali ke Baitullah, tidak boleh ada penyembelihan (Qurban) melainkan hanya karena Allah, tidak bernadzar melainkan karena Allah, tidak bersumpah melainkan dengan nama Allah saja, tidak bertawakkal melainkan hanya kepada-Nya, tidah takut melainkan hanya kepada-Nya, tidak bertakwa melainkan hanya kepada-Nya, tidak ada yang mendatangkan semua kebaikan melainkan hanya Allah, tidak ada yang dapat menolak semua kejelekan melainkan hanya Allah, tidak ada yang menunjuki (ke jalan lurus) melainkan hanya Allah, tidak ada yang menolong mereka kecuali hanya Allah, tidak ada yang memberikan rezeki kepada mereka kecuali hanya Allah, tidak ada yang memberi kecukupan kepada mereka kecuali hanya Allah dan tidak ada yang mengampuni dosa-dosa mereka kecuali hanya Allah.”[22]

Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di rahimahullah mengatakan, “Maksud dan tujuan dari perang di jalan Allah bukanlah sekedar menumpahkan darah orang kafir dan mengambil harta mereka, akan tetapi tujuannya agar agama Islam ini tegak karena Allah di atas seluruh agama dan menghilangkan (mengenyahkan) semua bentuk kemusyrikan yang menghalangi tegaknya agama ini, dan itu yang dimaksud dengan fitnah (syirik). Apabila fitnah (kesyirikan) itu sudah hilang, tercapailah maksud tersebut, maka tidak ada lagi pembunuhan dan perang.”[23]

Jadi, jihad disyari’atkan agar agama Allah tegak di muka bumi. Karena itu, sebelum dimulai peperangan diperintahkan untuk berdakwah kepada orang-orang kafir agar mereka masuk Islam.[24]

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَا تُقَاتِلْ قَوْمًا حَتَّى تَدْعُوَهُمْ.

Janganlah engkau perangi suatu kaum sampai engkau mendakwahkan mereka (untuk masuk ke dalam Islam).”[25]

HUKUM JIHAD
Hukum jihad adalah fardhu (wajib) dengan dasar firman Allah Azza wa Jalla dalam surat Al-Baqarah ayat ke 216.

Hukum jihad memerangi orang kafir adalah fardhu kifayah [26] berdasarkan dalil-dalil dari Al-Qur-an dan al-Hadits yang shahih serta penjelasan ulama Ahlus Sunnah. Apabila sebagian kaum Muslimin melaksanakannya, maka gugur kewajiban atas yang lainnya. Kalau tidak ada yang melaksanakannya, maka berdosa semuanya.

Para ulama menyebutkan bahwa jihad menjadi fardhu ‘ain pada tiga kondisi:
Pertama: Apabila pasukan Muslimin dan pasukan orang-orang kafir bertemu dan sudah saling berhadapan di medan perang, maka tidak boleh seseorang mundur atau berbalik. Dalilnya adalah surat Al-Anfaala ayat ke 16.

Kedua: Apabila musuh menyerang dan mengepung suatu negeri kaum Muslimin yang aman, maka wajib bagi penduduk negeri tersebut untuk keluar memerangi musuh (dalam rangka mempertahankan tanah air), kecuali wanita dan anak-anak.

Ketiga: Apabila Imam meminta suatu kaum atau menentukan beberapa orang untuk berangkat perang, maka wajib berangkat. Lihat, At-Taubah ayat ke 38-39.[27]

KAIDAH-KAIDAH JIHAD
1. Jihad harus dibangun di atas dua syarat yang merupakan dasar dari setiap amal shalih yang diterima, yaitu ikhlas dan mutaba’ah.

2. Jihad harus sesuai dengan maksud dan tujuan disyari’atkannya jihad, yaitu seorang muslim berjihad agar agama Islam ini tegak dan agar kalimat Allah menjadi yang paling tinggi, seperti dalam hadits bahwa dikatakan kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam,

يَا رَسُوْلَ اللهِ، اَلرَّجُلُ يُقَاتِلُ شَجَاعَةً، وَيُقَاتِلُ حَمِيَّةً، وَيُقَاتِلُ رِيَاءً، فَأَيُّ ذَلِكَ فِيْ سَبِيْلِ اللهِ؟ فَقَالَ: مَنْ قَاتَلَ لِتَكُوْنَ كَلِمَةَ اللهِ هِيَ الْعُلْيَا فَهُوَ فِيْ سَبِيْلِ اللهِ.

Wahai Rasulullah, seseorang berperang (karena ingin dikatakan) berani, seorang (lagi) berperang (karena ingin dikatakan) gagah, seorang (lagi) berperang karena riya’ (ingin dilihat orang), maka yang mana yang termasuk jihad di jalan Allah?” Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Barangsiapa yang berperang (dengan tujuan) untuk menjadikan kalimat Allah yang paling tinggi, maka ia (berada) fii sabiilillaah (di jalan Allah).”[28]

3. Jihad harus dengan ilmu dan pemahaman tentang agama, karena jihad ini termasuk ibadah yang paling agung dan ketaatan yang paling mulia.

4. Jihad harus dengan keadilan dan menjauhi permusuhan.

5. Jihad harus bersama Imam kaum muslimin atau dengan izinnya, yang baik maupun yang jahat.
Ini termasuk kaidah yang paling penting yang harus ada dalam jihad fii sabiilillaah. Karena jihad –terutama jihad melawan musuh dengan jiwa- tidak sempurna kecuali dengan kekuatan, dan kekuatan tidak ada kecuali dengan perkumpulan, dan perkumpulan tidak terealisasi kecuali dengan adanya kepemimpinan, dan kepemimpinan tidak benar kecuali dengan patuh dan taat. Semua perkara yang disebutkan ini wajib, tidak sempurna dan tidak tegak sebagiannya tanpa sebagian yang lain, bahkan tidak tegak agama dan dunia kecuali dengannya.[29]

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّمَا الْإِمَامُ جُنَّةٌ يُقَاتَلُ مِنْ وَرَائِهِ وَيُتَّقَى بِهِ، فَإِنْ أَمَرَ بِتَقْوَى اللهِ وَعَدْلٍ فَإِنَّ لَهُ بِذَلِكَ أَجْرًا، وَإِنْ أَمَرَ بِغَيْرِهِ فَإِنَّ عَلَيْهِ وِزْرًا.

Sesungguhnya imam itu adalah perisai, ia akan diperangi dari belakangnya [30] dan dia menjadi perisai (dari depan) [31] . Jika imam itu menyuruh untuk bertakwa kepada Allah dan berbuat adil, maka dia mendapat pahala. Tetapi jika dia menyuruh kepada selain itu, maka dia mendapat dosa.”[32]

Imam Al-Barbahari rahimahullah berkata, “Barangsiapa yang berkata: Shalat itu boleh di belakang setiap orang yang baik maupun yang jahat, jihad bersama semua khalifah (pemimpin yang baik maupun jahat), tidak membangkang kepada penguasa dengan pedang, dan mendo’akan mereka dengan kebaikan, maka dia telah keluar dari perkataan Khawarij yang pertama dan yang terakhir.”[33]

Imam Abu Ja’far at-Thahawi rahimahullah berkata,

…وَالْـحَجُّ وَالْـجِهَادُ مَعَ أُوْلِـى الْأَمْرِ مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ، بَرُّهُمْ وَفَاجِرُهُمْ إِلَى قِيَامِ السَّاعَةِ، لَا يُبْطِلُهَا شَيْءٌ وَلَا يَنْقُضُهُمَا.

Haji dan jihad tetap berlaku bersama ulil amri (penguasa) kaum Muslimin, baik maupun jahat. Tidak ada yang dapat membatalkan dan merusaknya.”[34]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata, “Wajib diketahui bahwa mentaati ulil amri termasuk kewajiban agama yang paling besar. Bahkan tidak tegak agama dan dunia kecuali dengannya. Karena sesungguhnya tidak sempurna maslahat manusia kecuali dengan bermasyarakat untuk keperluan sebagian mereka kepada sebagian yang lainnya. Dan wajib bagi mereka ketika bermasyarakat ada ketua/pemimpin… karena Allah Ta’ala mewajibkan amar ma’ruf nahi munkar, dan itu tidak sempurna kecuali dengan kekuatan dan kepemimpinan. Begitu juga semua yang Allah wajibkan berupa jihad, keadilan, pelaksanaan haji, shalat jum’at, shalat ‘ied, menolong orang yang terzhalimi, menegakkan hukuman hadd, semuanya tidak sempurna kecuali dengan kekuatan dan kepemimpinan. Karena inilah diriwayatkan bahwa penguasa itu naungan Allah di muka bumi. Dan dikatakan: enam puluh tahun bersama imam yang zhalim lebih baik dari pada sehari tidak ada penguasa. Penelitian telah membuktikannya… Maka yang wajib adalah menjadikan kepemimpinan (atas dasar) agama dan sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah, karena pendekatan diri kepada-Nya dengan ketaatan kepada-Nya dan taat kepada rasul-Nya termasuk mendekatkan diri (kepada Allah) yang paling utama, karena sesungguhnya kepemimpinan itu merusak keadaan kebanyakan manusia dengan menginginkan kekuasaan atau harta.”[35]

6. Jihad fii sabiilillaah dilakukan sesuai dengan keadaan mereka, sedang lemah atau kuat.
Karena keadaan itu berubah-ubah sesuai waktu dan tempat. Saat kondisi ummat Islam lemah sebagaimana saat ini, maka wajib bersabar, sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya ketika di Makkah.

7. Jihad itu harus menghasilkan kebaikan yang jelas, agar tidak ada kerusakan yang lebih besar.
Karena jihad itu disyari’atkan untuk menghasilkan kebaikan-kebaikan dan mencegah kerusakan didalam Islam dan kaum Muslimin, baik bagi individu maupun masyarakat. Dan jihad itu senantiasa disyari’atkan jika kaum Muslimin mengetahui dengan yakin atau bahwasanya dengan diadakannya jihad akan menghasilkan kebaikan-kebaikan sesuai dengan tujuan syari’at. Tetapi jika diyakini atau dikira bahwa dengan dilakukannya jihad akan terjadi kerusakan yang lebih besar, maka ketika itu jihad tidak disyari’atkan dan tidak diperintahkan.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah mengatakan, “Jihad dan amal shalih yang paling utama adalah yang paling ta’at kepada Rabb dan paling bermanfaat bagi manusia. Tetapi jika (jihad dan amal shalih) itu menghasilkan mudharat dan mencegah untuk mendapatkan yang lebih bermanfaat, maka itu tidak menjadi amal shalih.” [36]

Kesimpulannya, wajib berhukum kepada al-Qur-an dan Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam setiap perkara yang kecil maupun besar, dan itu mencakup empat hal, yakni keyakinan yang shahih, niat yang ikhlas, tawakkal yang benar, dan mengikuti contoh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan baik.[37]

KESIMPULAN
1. Jihad adalah seutama-utama amalan.
2. Di dalam jihad terdapat kebaikan dunia dan akhirat, dan meninggalkannya merupakan kerugian dunia dan akhirat.
3. Jihad di jalan Allah mengantarkan seseorang kepada petunjuk jalan kepadanya, dan ditambah petunjuk.[38]
4. Dalam jihad terdapat kesempurnaan manfaat bagi manusia.
5. Jihad mengangkat kezhaliman dari diri sendiri dan orang lain.
6. Jihad mencakup semua macam ibadah yang zhahir maupun yang bathin.
7. Orang yang berjihad dimuliakan di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala.
8. Menghidupkan kembali cara beragama yang benar dan usaha itu harus tegak di atas jihad di jalan Allah.
9. Dalam jihad terdapat pengampunan dosa-dosa.
10. Jihad merupakan sebab tersingkirnya fanatisme golongan, kelompok, partai, nasionalisme. Bahkan jihad menjadikan ummat berusaha untuk mewujudkan tujuan yang satu, yaitu agar kalimat Allah tinggi.
11. Jihad merupakan puncaknya amal, dan terkumpul di dalamnya amal-amal yang mulia.
12. Dalam jihad terdapat puncaknya tawakkal kepada Allah Ta’ala dan puncaknya sabar.
13. Dalam jihad terdapat hakikat zuhud dalam kehidupan dunia.
14. Dan faedah-faedah lainnya.[39]

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 12/Tahun XV/1433H/2012M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. Lisaanul ‘Arab (II/395-396), Mu’jamul Wasiith (I/142).
[2]. Mufradaat Alfaazhil Qur-aan (hlm. 208).
[3]. An-Nihaayah fii Ghariibil Hadiits (I/319), karya Ibnul Atsir.
[4]. Mufradaat Alfaazhil Qur-aan (hlm. 208) oleh al-’Allamah ar-Raghiib al-Ashfahani.
[5]. Fat-hul Baari (VI/3), cet. Daarul Fikr.
[6]. Fat-hul Baari (VI/13).
[7]. Shahih: HR. Ahmad (III/124), an-Nasa-i (VI/7), dan al-Hakim (II/81), dari Anas bin Malik Radhiyallahu anhu.
[8]. Majmuu’ Fataawaa (X/192-193).
[9]. Lihat al-Jihaad fii Sabiilillaah Haqiiqatuhu wa Ghayaatuhu (I/50) oleh Syaikh ‘Abdullah bin Ahmad Qadiry, cet. II, Darul Manarah–Jeddah, th. 1413 H.
[10]. Raudhatul Muhibbiin wa Nuz-hatul Musytaqqiin (hlm. 408), cet. Darus Shumai’iy th. 1416 H.
[11]. Hadits ini shahih. Diriwayatkan oleh Muslim dalam Shahiih-nya (no. 1878), Ibnu Abi Syaibah (no. 19542), Ibnu Hibban (no. 4608-at-Ta’liiqaatul Hisaan ‘ala Shahiih Ibni Hibban), At-Tirmidzi dalam Sunan-nya (no. 1619), Ahmad dalam Musnad-nya (II/424), Al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah (no. 2612). Hadits ini dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Silsilah al-Ahaadiits as-Shahiihah (no. 2896).
[12]. Shahih: HR. Ahmad (V/231, 236, 237, 245-246), at-Tirmidzi (no. 2616), ‘Abdurrazzaq (no. 20303), Ibnu Majah (no. 3973), dan yang lainnya.
[13]. Ribaath sama juga dengan ats-Tsaghar, yaitu orang yang menjaga di tapal batas antara kaum Muslimin dan kafirin. Ahlur Ribaath atau ahluts tsughur adalah orang yang menjaga kaum Muslimin dari serangan musuh. (Ta’liiq Shahiih Muslim, III/1520).
[14]. Shahih: HR. Muslim (no. 1913 (163)) dari shahabat Salman al-Farisi Radhiyallahu anhu.
[15]. Shahih: HR. Al-Hakim (II/74-75), ad-Dhiya’ dalam al-Ahaadiits al-Mukhtaarah (VIII/291-292, no. 356 dan 358) dan Ahmad (5/314, 316, dan 319), dari ‘Ubadah bin as-Shamit Radhiyallahu anhu. Dishahihkan oleh al-Hakim dan disepakati oleh adz-Dzahabi. Dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Silsilah al-Ahaadiits as-Shahiihah (no. 1941).
[16]. Shahih: HR. Ahmad (II/32) dengan sanad yang shahih. Lihat Musnad Ahmad (no. 4873) dan Silsilah al-Ahaadiits ash-Shahiihah (III/477).
[17]. Dinukil dari Thariiqul Hijratain wa Baabus Sa’adatain karya Ibnul Qayyim al-Jauziyyah (hlm. 345-346), Daar Ihya-ut Turats al-‘Araby-Beirut-Lubnan, cet. 1, th. 1424 H.
[18]. Lihat Tafsiir ath-Thabari (II/200).
[19]. Shahih: HR. Al-Bukhari (no. 25) dan Muslim (no. 22), dari Shahabat Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma.
[20]. Lihat Tafsiir al-Qurthubi (II/236), cet. Darul Kutub al-‘Ilmiyyah.
[21]. Majmuu’ Fataawaa (XV/170, XXVIII/23, 354).
[22]. Majmuu’ Fataawaa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah (XXXV/368).
[23]. Taisiirul Kariimir Rahmaan fii Tafsiiri Kalaamil Mannaan (hlm. 76), Maktabah al-Ma’arif, cet. I, th. 1420 H.
[24]. Muhimmatul Jihaad oleh Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Rayyis ar-Rayyis.
[25]. Lihat Silsilah al-Ahaadiits as-Shahiihah (no. 2641).
[26]. Risaalah al-Irsyaad ilaa Bayaanil Haqq fii Hukmil Jihaad (hlm. 44-73) oleh Syaikh Ahmad bin Yahya an-Najmi, cet. II, Daar Ulama’ Salaf, th. 1414 H, dan kitab-kitab lainnya.
[27]. Risaalah al-Irsyaad ilaa Bayaanil Haqq fii Hukmil Jihaad (hlm. 89-90) oleh Syaikh Ahmad bin Yahya an-Najmi dan Taudhiihul Ahkaam Syarh Buluughul Maram (VI/331-332), syarah: Syaikh ‘Abdullah bin ‘Abdirrahman al-Bassam, cet. V, Maktabah al-Asadi, th. 1423 H, dan kitab-kitab lainnya.
[28]. Shahih: HR. Al-Bukhari (no. 7458) dan Muslim (no. 1904).
[29]. Majmuu’ Fataawaa (XXVIII/390) dan ad-Durar as-Sinniyyah (VII/328).
[30]. Maksudnya, kaum muslimin akan berperang bersama imam untuk memerangi orang-orang kafir, pemberontak, khawarij, dan semua orang yang membuat kerusakan. Dan ia (imam) akan menolong mereka (kaum Muslimin).
[31]. Maksud perisai adalah dapat menjaga kaum Muslimin dari kejahatan musuh dan kejahatan orang yang membuat kerusakan dan kezhaliman secara mutlak. Lihat Shahiih Muslim (III/1471) tarqim dan ta’liq Muhammad Fu’ad ‘Abdul Baqi.
[32]. Shahih: HR. Al-Bukhari (no. 2957) dan Muslim (no. 1841), dari shahabat Abu Hurairah Radhiyallahu anhu.
[33]. Syarhus Sunnah (no. 161), tahqiq Khalid bin Qasim ar-Raddady, cet. V, Daar as-Shumai’iy, th. 1425 H.
[34]. Lihat Syarh al-‘Aqiidah ath-Thahaawiyyah (hlm. 55) tahqiq Syu’aib al-Arnauth dan DR. ‘Abdul Muhsin at-Turk.
[35]. Majmuu’ Fataawaa (XXVIII/390-391).
[36]. Majmuu’ Fataawaa (XXII/300).
[37]. Al-Quthuuful Jiyaad min Hikami wa Ahkaamil Jihaad (hlm. 34-35) dengan ringkas.
[38]. Lihat al-Ankabut: 69 dan Muhammad: 17.
[39]. Untuk lebih lengkap dan lebih jelas tentang masalah jihad, silahkan baca buku penulis “Jihad dalam Syari’at Islam”, Pustaka at-Taqwa, th. 2011.


Artikel asli: https://almanhaj.or.id/3864-jihad-amalan-yang-paling-utama.html